Kaidah Nahwu dan Tafsir, Dua Kesatuan yang Tak Terpisahkan

Dalam memamahi isi al-Qur’an, syarat pertama yang harus dikuasai oleh seseorang adalah, memahami bahasanya,  begitu pula dalam mentafsirkan ayat tertentu dalam al-Qur’an, maka jelas seseorang harus memahami tata bahasanya, yaitu kaidah (Nahwu Shorof).

Kaidah Nahwu – Shorof dan kaidah tafsir, adalah dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam mentafsirkan ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu Imam Mujahid mengatkan :

Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang agama Allah kecuali jika mengerti bahasa Arab

Dalam Kitab al-Mabahits fii Uluumil Qur’an, Manna’ Qattan menyebutkan kaidah-kaidah yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, (Ahli tafsir) kaidah-kaidah tersebut adalah, kaidah-kaidah Nahwu dan Shorof, seperti kaidah : Ma’rfat dan Nakirah, kaidah Mudzakar dan Muannats, kaidah mufrod, Tasniyah dan jamak, Kaidah bagaimana mengembalikan dhamir, dst.

Selain al-Qatthan Imam al Suyuthiy menyebutkan lima belas macam ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir, yaitu: (1) al lughah, (2) nahwu, (3) sharaf, (4) al istiqaq, (5) al ma’any, (6) al bayan, (7) al badi’, (8) al qiraah, (9) ushul ad din, (10) ushul fiqh, (11) al fiqh, (12) asbab an nuzul, (13) naskh wa al mansukh, (14) al hadis, (15) mauhabah. di sini kita ketahui bagaimana Imam al-Suyuti menjadikan kaidah al- Lugha, Nahwu dan Sharaf menempati urutan tiga besar.  

Oleh sebab itu banyak sekali kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan lebih mengedepankan pendekatan nahwu dan Shorof, diantaranya adalah :

  1. Tafsir : al-Tahriir wa al-Tanwiir (karangan Ibn ‘Asyuur)
  2. Tafsir : al-Kasyaf (karangan Imam al-Zamakahsyari)
  3. Tafsir : al-Bahr al-Muhits (karangan Imam Abu Hayyan)
  4. Tafsir : al-Dur al-Mashuun fii uluumil kitab al-Mashuun (karangan ahmad Ibn Yusuf yang lebih dikenal dengan sebutan : Samin al-Halabi)
  5. Tafsir : Adhwaul Bayan (karangan al-Syanqiti).

 

Imam Ibn Hisyam al-Anshori mengarang sebuah kitab yang berjudul Mughniyul Labib ‘an kutubil agharib, kitab ini membahas tentang kaidah-kaidah kaidah Nahwu – shorof dan Balaghah yang dimulai dari pembahasan :

  1. Tafsir Mufrodaat (isim fi’il dan huruf)
  2. Tafsir Jumlah dan pembagianya
  3. Mubtada’ Khobar
  4. Fiil fail
  5. ‘athof
  6. Rabit Jumlah dst

Kitab Mughniyul Labib membahas teory-teory nahwu sharaf dan aplikasinya dalam memaknai ayat al-Qur’an. Yang mana jika seorang membaca kitab tersebut maka ia akan tahu bagaimana pentingnya Ilmu Nahwu dan Shorof dalam mentafsirkan al-Qur’an.

Jika kita membaca karangan Ibn Hisyam yang lainya seperti Qatrunnada dan Syudzurud Zahab, bagaimana Ibn Hisyam memberikan pemahaman baru kepada pembacanya bagaimana kaidah nahwu dan shorof dan contoh-contohnya dalam al-Qur’an.

Jika kita membaca kitab Imam Malik Syarh Tashiil Fawaid atau kitab Imam Ibn Qoyyim al-Jauziyyah Badai’ul Fawaidh, maka kita akan tahu betapa sangat pentingnya Kaidah Nahwu dan aplikasinya dalam tafsir al-Qur’an.

Selain Ibn Hisyam, Ibn Malik dan Ibn Qoyyin al-jauziyyah seorang Ulama’ kontemporer : Dr. Muhammad Kholib ‘Udhoimah menulis sebuah buku yang berjudul : Diraasaat fii Usluubil Qur’an, (study gaya teks al-Qur’an) kitab ini membahas tema-tema dalam musthalah nahwu dan contoh-contohnya dalam al-Qur’an. Seperti dalam pembahasan   makna idz dalam al-Qur’an mempunyai beberapa makna, selain itu Udhaimah menyertakan rujukan-rujukan utama dalam ilmu Nahwu seperti, al-Kitab Imam Sibawaih, al-Kafiyah Ibn Hajib beserta Syarahnya Ridho, dst.

Kitab ini termasuk gaya baru dalam pembacaan teks al-Qur’an dari sisi Nahwu dan Shorof, orang yang membaca buku ini dan buku Ibn Hisyam Mughniyul Labib  akan memahami betapa ilmu Nahwu dan Sharaf mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami al-Qur’an dan mentafsirkanya.

Contoh sederhana kaidah Nahwu Nahwu dalam pentafsirkan al-Qur’an adalah Huruf ba’ dan maknanya dalam tafsir Basmalah / Bismillahirrahmanirrahim.

Ba’ dalam ilmu Nahwu mempunyai beberapa makna, diantaranya adalah :

  1. Lil ibtidaa’ (permulaan)
  2. Lil isti’anah (pertolongan)
  3. Lil Mulasaqah (menempel)
  4. Sababiyah (sebab)
  5. Ziyadah (Tambahan)

Jika kata Ba’ dalam basmalah bermakna Ibtida’, maka maknanya ketika kita membaca basmalah adalah : saya memulai  kegiatan saya dengan menyebut nama Allah yang maha rahman dan rahiim.

Jika Huruf ba’ bermakna Isti’aan, maka maknanya ketika kita membaca basmalah adalah : aku meminta pertolongan kepada Allah yang maha Rahman dan Rahim.

Jika Huruf Ba’ Mulasaqah, maka maknanya ketika kita membaca basmalah adalah : aku sertakan nama Allah yang maha Rahman dan Rahim dalam segala urusanku.

Hal ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah saw bahwa segala yang kita amalkan harus disertai dengan Basmalah, baik ba’ tersebut bermakna ibtida’ istia’nah atau ilshaq:

كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بـ ” بسم الله ” فهو أبتر ” ، أي: ناقص البركة.

“Setiap perkara (kehidupan)  yang tidak dimulai dengan Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim, maka dia akan terputus. Artinya adalah kurang barakahnya”(HR: Ibn Hibban).

Sebagaian ulama’ ada yang memaknai ba’ dalam lafadz basmalah tersebut sebagai ba’ ziyadah / Tambahan, maka jika ia bermkna ziyadah (tambahan) maka tidak bermakna apa-apa, dan kata اسم الله sebagai mubtada’. Inilah sebagian kecil contoh dan’ dalam memaknai basmalah.

 

 

Oleh: Joko Nursiyo, Lc., M.H.i
Direktur Darun Nuhat (Pesantren Ilmu Nahwu Shorof)
Petiyin, Solokuro, Lamongan – Jawa Timur
https://www.darunnuhat.com/

Leave a Comment