Ilmu Nahwu adalah kunci utama untuk mengetahui ilmu-ilmu keislaman lainya, seperti: Tafsir – Hadits – Fiqh – Akhlak dan ilmu-ilmu Syari’ah lainya. Jika seseorang ingin menjadi seorang Faqih (Ahli Fikih) maka jalan utama yang harus ditempuh adalah penguasaan kepada Ilmu bahasa Arab. Dalam kitab-kitab Ushul fiqh dijelaskan, bahwa Ilmu ushul Fiqh diambil dari tiga Ilmu utama, yaitu Ilmu Ushuluddin – dan Ilm Fiqh, dan Ilmu Arabiyah (nahwu). Dan bahasa Arab adalah sumber dari semua ilmu, bahan dikatakan bahwa bahasa arab adalah tsulutsul ‘ilm (1/3) dari semua ilmu.
Pembahasan utama dalam Ilmu Fiqh adalah: Mantuuq – Mafhuum – Mutlaq – Muqayyad – ‘aam – Khas – Mujmal – Mubayyan. Kunci utama dalam memahami disiplin ilmu tersebut adalah Bahasa Arab.
Oleh sebab itu Imam Syafi’i belajar Ilmu Nahwu lebih dari dua puluh tahun. Ketika ia ditanya kenapa engkau mempelajari Ilmu Nahwu Shorof (bahasa arab) lebih lama daripada engkau mempelajari ilmu fikih, Imam Syafi’i menjawab: “Asta’inu bihi ‘ala al-Fiqh.” (Ilmu Nahwu itu saya gunakan untuk memahami Fiqh).
Dalam kesempatan lain Imam Syafi’i mengatakan, “Demi Allah, saya tidak pernah ditanya tentang permasalah Fikih kecuali saya jawab dengan kaidah nahwu.”
Dalam kesempatan lain Imam Syafi’i mengatakan lagi: “Barang siapa yang mendalami Nahwu, maka ia akan ditunjukkan kepada semua ilmu (Ilmu Syari’ah)”.
Sekarang Mari kita lihat Ilmu Tafsir, di antara kaidah-kaidah yang harus dikuasai oleh seorang Mufassir adalah: penguasaan kepada bahasa Arab. Misal, lihat saja kitab al-mabahits fi ’ulumil qur’an, karangan Manna’ al-Qatthan, ia menyebutkan kaidah-kaidah yang harus diketahui oleh oleh seorang Mufassir penguasaan kepada Ilmu Nahwu seperti, Ma’rifat dan nakirah, kegunaan dhamir, mudzkar dan Muannats, dst.
Imam al-Zamakhsyari mengatakan:
وذلك أنهم لا يجدون علمًا من العلومِ الإسلامية فقهها وكلامها، وعلمي تفسيرها وأخبارها، إلا وافتقاره إلى العربية بيِّن لا يُدفع
“Sesungguhnya mereka semua tidak akan memperoleh imu-ilmu keislaman, baik Fiqh, kalam, tafsir dan hadits, kecuali dengan Bahasa arab.”
Imam al-Mujahid mengatakan :
قال مجاهد بن جبر: “لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالما بلغات العرب”
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang agama Allah kecuali jika mengerti bahasa Arab
Imam al-Syatibi juga mengatakan :
Orang yang berbicara tentang agama syari’at, baik tentang akidah Ushul fiqh dan Furu’nya harus menguasai dua hal:
- Harus mampu berbahasa arab, sebagaimana orang arab berbicara, mengetahui kaidah bahasanya seperti orang arab menguasainya.
- Jika ada sesuatu yang janggal atasnya, maka hendaknya ia menanyakan kepada ahli bahasa Arab.
Imam al-Razi dalam al-Mahsul-nya tentang syarat seorang Mujtahid :
إن من شروط المجتهد: معرفة النحو واللغة والتصريف؛ لأن شرعنا عربي، فلا يمكن التوسل إليه إلاّ بفهم كلام العرب
sesungguhnya syarat seorang Mujtahid adalah mengetahui Ilmu Nahwu dan Shorf, karena sesungguhnya Syari’at kita berbahasa Arab, maka tidak mungkin seseorang memahami Syari’at kecuali dengan memahami kalam arab (Bahasa Arab)
Oleh: Joko Nursiyo, Lc., M.H.i
Direktur Darun Nuhat (Pesantren Ilmu Nahwu Shorof)
Petiyin, Solokuro, Lamongan – Jawa Timur
https://www.darunnuhat.com/